Rabu, 09 Juni 2010

Hakikat Fonologi

Linguistik yang objeknya bahasa, terbagi atas bidang-bidang bawahan.
1. Fonologi sebagai subdisiplin linguistik menetapkan objek kajiannya adalah unsur bahasa yang terkecil atau bunyi bahasa.
2. Sebagai suatu subdisiplin linguistik, fonologi memiliki dua cakupan, yaitu cakupan dalam arti yang luas dan arti yang sempit.
3. Dalam arti luas, fonologi mencakup bunyi-bunyi bahasa secara umum baik
bunyi-bunyi umum atau bunyi-bunyi pembeda makna. Dalam arti luas fonologi mencakup kajian fonetik dan fonemik. Dalam arti sempit, fonologi mengkaji bunyi- bunyi bahasa yang berfungsi pembeda makna.
4. Sebagai suatu ilmu, fonologi mendasarkan kegiatannya pada pikiran-pikiran tentang bunyi bahasa (premis-premis) dan pernyataan landasan kerja yang disebut dengan hipotesis kerja

Dasar-dasar Fonologi

1. Beberapa pendekatan atau pandangan terhadap ujaran menjadi dasar bagi studi fonologi.
2. Dasar-dasar fonologi dibedakan atas dasar-dasar fonetik dan dasar-dasar fonemik.
3. Dasar-dasar fonetik mencakup jenis fonetik, alat bicara, terjadinya bunyi bahasa (tonasi) dan klasifikasi bunyi bahasa.
4. Penjenisan fonetik didasarkan adanya tiga pandangan terhadap ujaran yaitu:
a. Ujaran dipandang sebagai hasil produksi bunyi bahasa yang melibatkan alat ucap (anatomi dan fisiologi). Hal ini yang mendasari adanya fonetik artikulatoris.
b. Ujaran dipandang sebagai gejala fisik yang berupa gelombang bunyi, yang menjadi dasar adanya fonetik akustik.
c. Gelombang-gelombang bunyi itu diterima oleh pendengar, dipahami dan ditafsirkan maknanya. Hal ini menjadi dasar adanya fonetik auditoris.
5. Ujaran dipandang selesai suatu organisasi bunyi bahasa yang bermakna, hal inilah yang mendasari kajian fonemik (fonologi dalam arti sempit).
6. Dasar-dasar fonemik mencakup: fonem, identifikasi fonem, klasifikasi fonem, khasanah fonem.
7. Identifikasi fonem untuk menentukan status bunyi apakah membedakan makna atau tidak, melalui kata-kata yang mirip.
8. Khasanah fonem atau inventarisasi fonem suatu bahasa adalah jumlah suatu fonem yang ada dalam suatu bahasa, yang didasarkan pada klasifikasi vokal dan konsonan.

Tujuan Fonologi

1. Fonologi, sebagian dari studi linguistik berdasarkan tujuan kajiannya dibedakan atas fonologi teoretis dan fonologi praktis.
2. Tujuan fonologi didasarkan atas tujuan teoritis dan tujuan praktis.
3. Fonologi mencakup atas studi fonetik dan fonemik.
4. Tujuan fonetik teoretis adalah untuk menemukan kaidah-kaidah bunyi secara umum.
5. Tujuan fonetik praktis adalah menemukan kaidah-kaidah umum bunyi bahasa untuk keperluan memecahkan masalah secara praktis, misalnya latihan lafal untuk penderita tunawicara.
6. Tujuan fonemik teoretis adalah menemukan kaidah-kaidah bunyi bahasa tertentu, misalnya fonem hambat /b, d, g/ dalam bahasa Jawa.
7. Tujuan studi fonemik praktis adalah untuk keperluan memecahkan masalah, misalnya ejaan.
8. Tujuan-tujuan fonologi secara teoritis maupun praktis, fonetik dan fonemik teoretis maupun praktis berdasarkan bidang kajian linguistik umum yaitu linguistik teoretis dan linguistik praktis atau linguistik terapan.


Pengertian Fonetik

Fonetik adalah cabang ilmu linguistik yang meneliti dasar fisik bunyi-bunyi bahasa. Fonetik artikulatoris meneliti alat-alat organik yang dipakai untuk menghasilkan bunyi bahasa. Fonetik organis, atau fonetik artikulatoris, atau fonetik fisiologis mempelajari bagaimana mekanisme alat-alat bicara yang ada dalam tubuh manusia menghasilkan bunyi bahasa.
Saat udara dari paru-paru dihembuskan, kedua pita suara dapat merapat atau merenggang. Apabila pita suara merenggang sehingga arus udara dapat lewat
dengan mudah menghasilkan bunyi bersuara. Apabila pita suara dirapatkan maka menghasilkan bunyi tak bersuara.
Fonetik akustik menyelidiki bunyi menurut sifat-sifatnya sebagai getaran udara. Fonetik akustik menyangkut bunyi bahasa dari sudut bunyi sebagai getaran udara, dari segi bunyi sebagai gejala fisis. Bunyi-bunyi diselidiki frekuensi getarannya, amplitudo, intensitas, dan timbrenya oleh alat pembantu seperti oscillograph.
Fonetik auditoris mempelajari bagaimana mekanisme telinga menerima bunyi bahasa sebagai getaran udara. Fonetik jenis ini cenderung dimasukkan ke dalam neurologi ilmu kedokteran.


Alat-alat Ucap

Secara garis besar alat-alat bicara untuk menghasilkan bunyi bahasa adalah paru-paru, pangkal tenggorokkan, rongga kerongkongan, langit-langit lunak, langit-langit keras, gusi, gigi, bibir, dan lidah. Fungsi pokok paru-paru adalah untuk pernafasan. Bernafas pada dasarnya ialah mengalirkan udara ke dalam paru-paru, proses ini disebut menarik nafas, sedangkan proses mengeluarkan udara kotor disebut menghembuskan nafas.
Pangkal tenggorok atau laring (larynx) adalah rongga pada ujung pipa pernafasan dan terdiri atas empat komponen yaitu: tulang rawan krikoid, dua tulang rawan aritenoid, sepasang pita suara, dan tulang rawan tiroid. Proses membuka dan menutupnya pita suara membentuk suatu celah atau ruang di antara sepasang pita suara yang disebut glotis. Glotis dibedakan atas empat posisi, yaitu dalam keadaan terbuka lebar, terbuka, tertutup, dan tertutup rapat. Proses bergetarnya pita suara disebut fonasi
Rongga kerongkongan (pharynx) ialah rongga yang terletak di antara pangkal tenggorok dengan rongga mulut dan rongga hidung, berfungsi sebagai saluran makanan dan minuman. Bunyi bahasa yang dihasilkan oleh faring disebut bunyi faringal.
Langit-langit lunak (velum) beserta bagian ujungnya yang disebut anak tekak (uvula) dapat turun naik sedemikian rupa. Bunyi bahasa yang dihasilkan oleh langit-langit lunak ini disebut bunyi velar. Bunyi yang dibentuk oleh pangkal lidah (dorsum) disebut dorsal. Gabungan antara pangkal lidah dan langit-langit lunak menjadi dorso-velar. Bunyi yang dihasilkan dengan hambatan anak tekak (uvula) disebut uvular.
Langit-langit keras terbuat dari tulang memiliki bagian depan dimulai langit-langit melengkung cekung ke atas dan bagian belakang berakhir dengan bagian yang terasa lunak apabila diraba. Bunyi yang dihasilkan oleh langit- langit keras (palatum) disebut palatal. Bunyi yang dihasilkan oleh ujung lidah (apex) disebut apikal sedangkan bunyi yang dihasilkan dengan hambatan tengah lidah (medium) disebut medial. Gabungan yang pertama menjadi apikopalatal, sedangkan gabungan yang kedua menjadi medio-palatal.
Gusi dalam (gusi belakang, ceruk gigi, lengkung kaki gigi, dan lekuk gigi) adalah bagian gusi tempat letak akar gigi depan atas bagian belakang, terletak tepat di atas serta di belakang gigi yang melengkung ke dalam menghadap lidah. Bunyi yang dihasilkan oleh gusi disebut alveolar. Bunyi yang dihasilkan dengan hambatan ujung lidah dengan gusi disebut bunyi apiko-alveolar. Bunyi yang dihasilkan oleh daun lidah (lamina) disebut laminal. Gabungan dari keduanya menjadi bunyi lamino-alveolar.
Gigi terbagi atas dua bagian yaitu gigi bawah dan gigi atas. Yang berfungsi penuh sebagai artikulator adalah gigi atas bekerja sama dengan bibir bawah atau ujung lidah. Bunyi yang dihasilkan oleh gigi (denta) disebut dental. Bunyi yang dihasilkan oleh bibir (labia) disebut labial. Bunyi yang dihasilkan dengan hambatan gigi atas dengan bibir bawah disebut labio-dental. Bunyi yang dihasilkan dengan hambatan gigi atas dengan ujung lidah disebut apiko-dental.
Bibir terbagi menjadi dua yaitu bibir bawah dan atas dengan fungsi pokok sebagai pintu penjaga rongga mulut. Bibir bawah dapat pula bertindak sebagai artikulator aktif dan bekerja sama dengan gigi atas menghasilkan bunyi labio-dental.
Lidah memiliki fungsi utama sebagai alat perasa. Lidah dapat dibagi menjadi lima bagian yaitu akar lidah (root), pangkal lidah (dorsum), tengah lidah (medium), daun lidah (lamina), dan ujung lidah (apex). Akar lidah bekerja sama dengan rongga kerongkongan menghasilkan bunyi radiko-faringal. Jika pangkal lidah bekerja sama dengan langit-langit lunak maka akan menghasilkan bunyi dorso-velar. Ujung lidah dan langit-langit keras menghasilkan bunyi apiko-palatal. Ujung lidah dengan gusi menghasilkan bunyi apiko-alveolar. Ujung lidah dengan gigi atas menghasilkan bunyi apiko-dental.


Klasifikasi Bunyi Bahasa

Bunyi-bunyi bahasa dapat diklasifikasikan berdasarkan hambatan-nya, penyertaan udara pada rongga hidung, ketegangan arus udara, lama bunyi diucapkan, jumlah bunyi yang diruntut, derajat kenyaringan, dan berdasarkan keluar-masuknya udara. Vokal merupakan bunyi yang tidak mendapat hambatan pada alat bicara. Oleh karena vokal dihasilkan dengan hambatan pita suara maka pita suara dapat bergetar. Konsonan dibentuk dengan cara menghambat arus udara pada sebagian alat bicara. Jadi, ada artikulasi. Semivokal ialah bunyi yang secara praktis termasuk konsonan.
Bunyi bahasa dapat dibedakan atas bunyi nasal (sengau) dan bunyi oral. Kalau udara keluar atau disertai keluarnya udara lewat rongga hidung maka bunyi itu disebut bunyi nasal atau sengau. Kalau langit-langit lunak beserta ujung anak tekak menaik menutupi rongga hidung sehingga udara hanya melalui rongga mulut saja maka bunyi yang dihasilkan disebut bunyi oral.
Bunyi bahasa disebut keras apabila ketika diartikulasikan disertai ketegangan kekuatan arus udara. Kalau tanpa disertai ketegangan kekuatan arus udara disebut bunyi lunak. Berdasarkan lamanya bunyi itu diucapkan atau lamanya bunyi itu diartikulasikan bunyi bahasa dibedakan atas bunyi panjang dan pendek. Tanda untuk panjang biasanya dengan tanda garis pendek di atas, atau dengan titik dua di sebelah kanan bunyi panjang itu.
Bunyi rangkap ialah bunyi yang terdiri atas dua bunyi dan terdapat dalam satu suku kata. Bunyi rangkap vokal disebut diftong sedangkan bunyi tunggal vokal disebut monoftong. Diftong berciri keadaan posisi lidah pada waktu mengucapkan bunyi vokal yang satu dengan yang lain saling berbeda. Bunyi rangkap konsonan disebut gugus konsonan atau klaster dengan ciri cara diartikulasikan atau tempat artikulasi kedua konsonan itu saling berbeda. Diftong dapat dibedakan lagi atas diftong naik dan diftong turun. Diftong naik di antaranya terdapat dalam bahasa Indonesia. Diftong naik dalam bahasa Indonesia ialah: [ oi, aI ], dan [aU].
Berdasarkan derajat kenyaringannya, bunyi dapat dibedakan atas bunyi nyaring (lantang) dan tidak nyaring pada waktu terdengar oleh telinga. Derajat kenyaringan itu ditentukan oleh luas sempitnya atau besar kecilnya ruang resonansi ketika bunyi itu dihasilkan. Berdasarkan arah arus udara dalam pembentukan, bunyi bahasa dapat dibedakan antara bunyi egresif dan bunyi ingresif. Pembentukan bunyi yang dilaksanakan dengan arus udara keluar dari paru-paru disebut egresif. Pembentukan bunyi dengan arah udara masuk ke dalam paru-paru disebut ingresif.


Pengertian Fonemik

1. Fonetik adalah bagian dari studi linguistik yang mempelajari bunyi bahasa secara umum, tanpa memperhatikan makna, yang tidak bersifat fungsional, kajian bunyi bahasa manapun. Sedangkan fonemik adalah bagian dari studi linguistik yang mempelajari bahasa tertentu yang memperhatikan perbedaan makna.
2. Fonemisasi adalah salah satu prosedur atau cara menemukan fonem suatu bahasa. Penemuan fonem suatu bahasa itu didasarkan pada data-data yang secara fonetis akurat. Salah satu prosedur fonemisasi adalah “pasangan minimal” (minimal pairs). Pasangan minimal, yaitu bentuk-bentuk bahasa yang terkecil dan bermakna dalam sebuah bahasa yang secara ideal sama, kecuali satu bunyi yang tidak sama. Hasil dari fonemisasi dengan prosedur pasangan minimal adalah ditemukannya suatu fonem, yaitu satuan bunyi yang terkecil yang fungsional atau distingtif, dalam arti membedakan makna.


Distribusi Fonem

1. Distribusi fonem adalah letak atau posisi suatu fonem dalam suatu satuan yang lebih besar yaitu tutur, morfem, atau kata.
2. Dalam satuan yang lebih besar dari fonem itu, terdapat tiga posisi untuk setiap fonem, yaitu posisi awal (inisial), posisi tengah (medial), dan posisi akhir (final).
3. Sebuah fonem berdistribusi awal apabila letaknya terdapat pada awal satuan itu dan disebut berdistribusi medial, apabila fonem itu terletak di tengah satuan itu, serta berdistribusi final, bila fonem itu terletak pada akhir satuan itu.
4. Terdapat empat cara menentukan distribusi suatu fonem, yaitu dalam tutur, dalam morfem dan, dalam silaba, serta hubungan urutan vokal atau konsonan.
5. Dalam hubungan dengan silaba, fonem-fonem itu dapat berposisi sebagai tumpu (awal silaba), inti atau puncak silaba, dan koda (akhir suku).
6. Setiap vokal hanya berfungsi sebagai inti atau puncak silaba.
7. Setiap konsonan hanya berfungsi sebagai tumpu atau koda.
8. Tidak setiap konsonan menempati distribusi akhir (final).


Variasi Fonem


1. Variasi fonem terjadi karena posisi atau letak suatu fonem dalam suatu kata atau suku kata yang merupakan lingkungannya.
2. Variasi fonem disebut juga variasi alofonis, yaitu alofon atau realisasi fonem dalam suatu lingkungan.
3. Variasi bebas adalah variasi fonem, yang tidak mengubah makna pada suatu lingkungan tertentu.
4. Variasi bebas dapat terjadi karena ketidaksengajaan atau karena dialek


Daftar Pustaka

Alwi, Hasan (Peny.) 1993. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Kridalaksana, Harimurti, 1982. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia.

Lass, Roger. 1991. Fonologi (Terj.) Warsono. Cambridge: Cambridge University Press.

Marsono, 1986. Fonetik. Yogyakarta: UGM Press.

Parera, Jos Daniel. 1983. Fonetik dan Fonemik. Ende, Flores: Nusa Indah.

Samsuri, 1978. Analisa Bahasa. Jakarta: Erlangga.

Yakop Colin and John Clark, 1991. Introduction to Phonetics and Phonemics. Cambridge: Basil Black Well, Ltd.


Struktur Bunyi Bahasa

Pada waktu melafalkan diftong, posisi lidah bunyi yang satu dengan yang lain saling berbeda menyangkut tinggi rendahnya lidah, bagian lidah yang bergerak, serta langit-langitnya. Diftong dapat diklasifikasi-kan menjadi tiga, yaitu diftong naik, diftong turun, dan diftong memusat.
Diftong naik atau menutup dihasilkan dengan cara vokal yang kedua diucapkan dengan posisi lidah lebih tinggi daripada vokal yang pertama, strukturnya semakin tertutup. Bahasa Indonesia memiliki tiga jenis diftong naik, yaitu 1) diftong naik-menutup-maju [aI], misalnya dalam kata pakai, lalai pandai, nilai, tupai, sampai, 2) diftong naik-menutup-maju [oi], misalnya dalam kata amboi, sepoi-sepoi, 3) diftong naik-menutup-mundur [aU], misalnya dalam kata saudara, lampau, kacau.
Diftong turun dihasilkan dengan cara posisi lidah yang kedua diucapkan lebih rendah dari yang pertama. Di dalam bahasa Indonesia hanya ada diftong naik, sedangkan diftong turun tidak ada. Diftong memusat diucapkan dengan cara vokal kedua diucapkan dengan menggerakkan lidah ke vokal tengah sentral. Bahasa Indonesia tidak memiliki diftong memusat.
Gugus konsonan adalah deretan dua konsonan atau lebih yang tergolong dalam satu suku kata yang sama, misalnya bunyi [pr] pada kata praktis. Suku kata atau silaba ialah bagian kata yang diucapkan dalam satu hembusan nafas dan umumnya terdiri atas beberapa fonem. Kata tiba diucapkan dengan dua hembusan nafas, satu hembusan untuk ti- dan satunya lagi untuk -ba.
Suku kata dalam bahasa Indonesia selalu memiliki vokal yang menjadi puncak suku kata. Puncak itu dapat didahului dan diikuti oleh satu konsonan atau lebih, meskipun dapat terjadi bahwa suku kata hanya terdiri atas satu vokal atau satu vokal dengan satu konsonan.
Di dalam bahasa Indonesia suku kata dapat terdiri atas 1) satu vokal (V), 2) satu vokal dan satu konsonan (VK), 3) satu konsonan dan satu vokal (KV), 4) satu konsonan, satu vokal, dan satu konsonan (KVK), 5) dua konsonan dan satu vokal (KKV), 6) dua konsonan, satu vokal, dan satu konsonan (KKVK), 7) satu konsonan, satu vokal, dan dua konsonan (KVKK), 8) tiga konsonan dan satu vokal (KKKV), 9) tiga konsonan, satu vokal, dan satu konsonan (KKKVK), 10) dua konsonan, satu vokal, dan dua konsonan (KKVKK), 11) satu konsonan, satu vokal, dan tiga konsonan (KVKKK).
Kata di dalam bahasa Indonesia dibentuk dari gabungan bermacam- macam suku kata. Pada suku kata yang agak rumit banyak orang menyelipkan fonem [e] untuk memisahkan konsonan yang berdekatan. Bahasa Indonesia tidak memiliki konsonan rangkap pada akhir suku, terkecuali pada kata pungut.
Pemenggalan kata berhubungan dengan kata sebagai satuan tulisan sedangkan penyukuan kata bertalian dengan kata sebagai satuan bunyi bahasa. Pemenggalan tidak selalu berpedoman pada lafal kata.
Faktor lain yang penting adalah kesatuan pernapasan pada kata tersebut. Kita harus pula menghindari pemenggalan pada akhir kata yang hanya terdiri atas satu huruf saja. Aturan mengenai pemenggalan kata ini terdapat pada Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan.


Daftar Pustaka

Alwi, Hasan, Soenjono Dardjowidjojo, Hans Lapoliwa dan Anton M. Moeliono. 1998. Tatabahasa Baku Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.

Jones, Daniel. 1958. The Pronunciation of English. Cambridge: Great Britain at The University Press.

Lyons, John. 1968. Introduction to Theoretical Linguistics. Cambridge: Cambridge University Press.

Marsono. 1986. Fonetik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Robins, R.H.. 1992, Linguistik Umum Sebuah Pengantar terjemahan Soenarjati Djajanegara General Linguistics. Seri ILDEP Ke-62. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Samsuri. 1978. Analisa Bahasa. Jakarta: Erlangga.

Saussure, Ferdinand de. 1988, Pengantar Linguistik Umum. terjemahan Rahayu S. Hidayat Cours de Linguistique Generale. Seri ILDEP Ke-35. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Spat, C. 1989. Bahasa Melayu: Tata Bahasa Selayang Pandang. terjemahan A. Ikram Maleische Taal: Overzicht van de Grammatica. Seri ILDEP, Jakarta: Balai Pustaka.

Sudarno. 1990. Morfofonemik Bahasa Indonesia. Jakarta: Arikha Media Cipta.

Verhaar, J. W. M. 1996. Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Yudi Cahyono, Bambang. 1995. Kristal-Kristal Ilmu Bahasa. Surabaya: Erlangga.


Analisis dan Uraian Fonem

Analisis fonem atau fonemisasi bertujuan menemukan fonem dalam bahasa tertentu. Bunyi-bunyi yang secara fonetis banyak perlu dibatasi menjadi bunyi-bunyi yang fungsional dalam suatu bahasa.
Terdapat dua premis bunyi bahasa yang merupakan pokok-pokok pikiran tentang sifat-sifat bunyi:
(1) Bunyi-bunyi bahasa cenderung membentuk pola simetri
(2) Bunyi-bunyi bahasa cenderung saling mempengaruhi dalam lingkungannya

Terdapat dua hipotesis kerja dalam rangka analisis dan uraian fonem suatu bahasa.
(1) Bunyi-bunyi yang secara fonetis mirip harus dimasukkan ke dalam fonem yang berbeda, bila dalam lingkungan kontras minimal.
(2) Bunyi-bunyi yang secara fonetis mirip harus dianggap sebagai fonem yang sama. Apabila bunyi-bunyi itu terdapat dalam lingkungan komplementer.

Analisis dan uraian fonem bahasa mengikuti lima langkah penting:
(1) Catat bunyi yang mirip dan kontras
(2) Terapkan hipotesis kerja (1)
(3) Terapkan hipotesis kerja (2)
(4) Catat bunyi yang tidak mirip
(5) Inventarisasi fonem yang ada.


Perubahan Fonem

Perubahan fonem dapat menyebabkan terjadinya perubahan identitas fonem, dan bisa juga tidak mengubah identitas fonem. Perubahan fonem yang tidak mengubah identitas fonem disebut asimilasi fonetis, sedangkan yang menyebabkan adanya fonem lain disebut asimilasi fonemis.
Asimilasi fonemis terjadi atas tiga jenis, yaitu:
1. Asimilasi progresif, yakni asimilasi yang terjadi bila fonem yang berasimilasi terletak di belakang fonem yang menyebabkan asimilasi dari bunyi yang tidak sama menjadi sama.
2. Asimilasi regresif, yakni asimilasi yang terjadi pada fonem yang berasimilasi terletak di depan fonem yang menyebabkan asimilasi.
3. Asimilasi resiprokal, yaitu asimilasi yang terjadi antar dua fonem dalam antara kata yang berubah menjadi satu morfem baru.

Desimilasi adalah kebalikan dari asimilasi. Fonem-fonem yang sama berubah menjadi tidak sama, karena bunyi-bunyi yang sama ini saling berdekatan.
Hilangnya fonem mencakup tiga macam, yaitu pada awal kata, disebut afaresis, ditengah kata disebut sinkop, dan di akhir kata disebut apokop.
Kontraksi adalah perubahan fonem antar kata, yang menyebabkan kata baru seperti singkatan.
Harmoni vokal adalah salah satu jenis modifikasi vokal, yang terjadi karena penambahan bunyi atau bentuk lain.
Metatesis adalah gejala pertukaran posisi atau letak fonem dalam sebuah kata, yang tidak mengubah makna.
Netralisasi terjadi apabila fonem-fonem yang kontras, dalam lingkungan tertentu fungsi pembeda makna ini batal, dan dinetralkan.
Untuk melambangkan dua bunyi yang telah dinetralkan dibuat lambang arkifonem.
Lambang arkifonem /D/ melambangkan netralisasi antara /d/ dan /t/.

Daftar Pustaka

Alwi, Hasan (Peny.). 1993. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Kridalaksana, Harimurti. 1982. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia.

Lass, Roger. 1991. Fonologi (Terj.) Warsono. Cambridge: Cambridge University Press.

Marsono. 1986. Fonetik. Yogyakarta: UGM Press.

Parera, Jos Daniel. 1983. Fonetik dan Fonemik. Ende, Flores: Nusa Indah.

Samsuri. 1978. Analisa Bahasa. Jakarta: Erlangga.

Yakop Colin and John Clark. 1991. Introduction to Phonetics and Phonemics. Cambridge: Basil Black Well, Ltd.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar